Pengumuman:
Jam Kerja PUSKOPCUINA Senin s.d. Jumat pukul 07.30 s.d. 15.30 WIB, Efektif Per 4 Maret 2024

Berita Credit Union

Credit Union Sebagai Lokomotif Pemberdayaan PSE

Credit Union Sebagai Lokomotif Pemberdayaan PSE

Refleksi atas Pekan Studi Komisi PSE KWI

Tana Toraja, 8 – 13 Juli 2019

Pekan Studi Komisi PSE KWI di Toraja memberi pengalaman, pengetahuan, kesadaran dan keyakinan akan gerakan CU sebagai Lokomotif Pemberdayaan (tema yang dipilih Komisi PSE KWI). Berikut ini refleksi dari pengalaman pekan studi tersebut.

1. Credit Union di Indonesia

Gerakan koperasi berupa Credit Union (CU) telah hadir di Indonesia sejak tahun 1967. Gerakan ini mulai diperkenalkan oleh Pastor Karl Albrecht Karim Arbie, SJ., Pastor John Djikstra, SJ., Pastor Frans Lubbers, OSC., FX. Bambang Ismawan, dan kawan-kawan sejak tahun 1963 setelah menghadiri Seminar Community Development And Credit Union di Bangkok yang diselenggarakan oleh SELA (Socio Economic Life in Asia). 

CU yang pertama berdiri tahun 1970. Diterima di lingkungan MAWI sebagai alat pemberdayaan Ekonomi Rumah Tangga (ERT) tahun 1972. Kemudian mendapat perhatian di Paroki-Paroki dan PSE Keuskupan di seluruh Indonesia. CU dalam lingkungan Gereja Katolik, nampaknya dengan mudah bertumbuh, namun juga tidak dapat dipungkiri ada begitu banyak CU yang lahir dalam lingkungan gereja pada akhirnya juga tutup dengan sendirinya karena berbagai alasan. CU memberi harapan bagi umat namun pengelolaannya perlu mendapat perhatian serius. (TOR Pekan Studi)

2. Credit Union yang Standar

Kurang lebih satu minggu ini para pengurus PSE dari 34 keuskupan di Indonesia, para akademisi dari beberapa Universitas Katolik serta para aktivis CU diundang menghadiri pekan studi yang diselenggarakan oleh Komisi PSE KWI di Tana Toraja. CU Sauan Sibarrung menjadi rumah yang amat nyaman bagi para peserta untuk memulai hari studi dan refleksi tersebut. Pastor DR. Fredy Rante Taruk, Pr menjadi fasilitator utama pada hari hari studi itu.

Pada hari pertama, Pastor Fredy membuka mata setiap peserta agar melihat bagaimana mengelola CU. CU dikelola bukan seturut selera pengurus dan atau manajemen. Ada standar tata kelola yang amat perlu diperhatikan.  ACCESS Branding adalah rujukan standar yang mutlak diikuti oleh Credit Union. Ada empat perspektif yang dipakai sebagai acuan tata kelola sekaligus untuk menilai kualitas sebuah CU.

Pertama, Perspektif Keuangan.  Pada perspektif ini, Credit Union harus benar-benar memastikan adanya perlindungan dan keamanan keuangan anggota Credit Union. Analisa keadaan keuangan dibuat berdasarkan indikator yang pada PEARLS. Protection (Perlindungan), Effective Financial Structure (Struktur Keuangan Efektif), Asset Quality (Kualitas Aset), Rates of Return and Cost (Tingkat Pendapatan & Biaya), Liquidity (Likuditas) dan Sign of Growth (Tanda Pertumbuhan). Kedua, Perspektif Anggota. Anggota sebagai pemilik dan pengguna CU perlu memperoleh kepuasan layanan berupa produk dan layanan yang ditawarkan, pemberdayaan yang dilakukan, partisipasi anggota serta sarana prasarana penunjang.  Ketiga, Perspektif Bisnis Internal. Pada perspektif ini, Credit Union perlu menciptakan tata kelola organisasi melalui kebijakan dan prosedur yang jelas, terbangunnya komunikasi internal serta keterlibatan dalam kegiatan masyarakat bersama lembaga mitra. Keempat, Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran. Perspektif ini menekankan pada peningkatan performa manajemen, kualitas kepemimpinan pengurus dan pengawas, serta kerja sama tim berbasis nilai. 

Dalam proses tata kelola yang sehat, dimulai dari perspektif keempat (Pertumbuhan dan Pembelajaran) yaitu menciptakan kepemimpinan pengurus dan performa manajemen berkualitas, serta pengawasan yang baik, maka roda organisasi dalam perspektif ketiga (Bisnis Internal) akan berjalan sehat dan aman dengan bingkai kebijakan dan prosedur yang kuat. Dengan demikian kepuasan anggota pada perspektif kedua pasti akan terpenuhi dengan mantap. Dan pada akhirnya apa yang menjadi indikator pada perspektif kesatu (Keuangan) akan terealisasi secara bertahap menuju excellent.

Dengan demikian standar sebuah CU bukan sekadar kelengkapan adiministrasi dan pertumbuhan aset melainkan merupakan satu keseluruhan. Secara khusus CU perlu memberi bobot pada pemberdayaan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup anggota.

3. Fokus Uang atau Anggota

Para peserta kemudian diajak untuk berefleksi tentang apa yang menjadi fokus dalam ber-CU? Uang atau anggota? Sejauh mana para aktivis melibatkan diri serta berpartisipasi aktif dalam CU. Apakah pengurus konsisten terlibat dalam rapat-rapat? Apakah di sana ada semangat volunteer atau ingin dibayar? Hal penting lain lagi yakni apakah pengurus sadar tentang teritory management (pengaturan wilayah pelayanan)? Pengurus begitu ngotot membuka kantor CU dimana-mana. Tak tahu apa yang ia kejar. Dan karenanya ia lupa membuat pendampingan terhadapnya. Jangankan pendampingan, bahkan pengurus sendiri tak memiliki kualifikasi apa-apa untuk mengembangkan CU. Ia sekadar menempatkan pastor atau aktivis tapi sama sekali tak paham apa-apa tentang cara kerja CU. Kondisi ini berdampak pada kinerja keuangan yang buruk, kredit macet semakin tinggi, dan modal lembaga minus. Dan kondisi ini semakin diperparah oleh adanya gesekan dan konflik antar manajemen vs pengurus. 

Karena itu untuk mengembangkan CU, Misi, Visi dan basis nilai mutlak diinternalisasi oleh semua aktivis. Dia menjadi roh penggerak seluruh gerakan. Tanpa ini CU akan mati perlahan-lahan. CU sibuk dengan uang dan bukan dengan manusia.

 

4. Quo Vadis PSE 

Mengingat kegiatan studi ini adalah 'gawe'nya PSE KWI, maka PSE KWI dan Keuskupan pun berefleksi tentang sejauh mana PSE sungguh hadir sebagai wajah Gereja dalam upaya peningakatan sosial ekonomi umat. Jangan-jangan PSE hanya sekadar komisi menjawab proposal umat. Jika demikian maka dimanakah letak pemberdayaan ekonomi umat? 

Pilihan sadar PSE KWI yang menjadikan CU sebagai lokomotif pemberdayaan sosial ekonomi umat dan masyarakat pada pekan studi kali ini dipandang tepat. Spirit utama PSE adalah pemberdayaan masyarakat. Media yang digunakan adalah Credit Union. Karena itu PSE keuskupan ditantang untuk tidak sekadar menjadi nama komisi semata tetapi terlibat secara aktif dan proaktif.

Pada tataran rohani menurut hemat saya, PSE didorong  untuk memberikan pendampingan rohani kepada CU-CU yang berada di keuskupan dengan Nilai-Nilai Injili serta Ajaran Sosial Gereja. Kedua, mendorong PSE Keuskupan agar membuat laporan keadaan CU di keuskupan sesuai standar kepada Uskup secara periodik. Sesuai standar berarti tidak sekadar laporan tetapi ada parameter yang digunakan agar laporannya berkualitas. Ketiga, Para Uskup hendaknya menempatkan pengurus/ petugas PSE yang paham tentang gerakan CU yang standar. Hal ketiga ini menjadi penting karena PSE KWI melalui Mgr. John Saklil telah memilih CU sebagai mainstreaming dalam seluruh gerakan PSE. Dengan demikian aktor PSE harus memiliki kualifikasi tentang Credit Union.

 

5. ABCD Approach

Dua hari terakhir para aktivis berada di lapangan. Kunjungan ke komunitas binaan CU Sauan Sibarrung. Kunjungan dan perjumpaan dengan kelompok-kelompok binaan CU Sauan Sibarrung membuka mata kami lebar-lebar tentang mujizat yang telah dibuat CU. Ada 324 kelompok binaan yang telah diberdayakan seperti kelompok peternak babi dan ikan, kerajinan tangan, pandai besi, petani kopi, tenunan, tani padi dan seterusnya. Kelompok ini sudah benar benar berdaya. Mereka didampingi secara serius oleh CU. 

Hasil produksi meningkat seiring dengan tingginya minat pembeli. CU hadir memberdayakan masyarakat kecil terhadap:

  1. Penindasan kaum kapitalis.
  2. Memotong mata rantai para tengkulak
  3. Mencegah sistem ijon yg membelunggu usaha petani kecil.

CU sungguh menciptakan ekonomi berkeadilan. 

Saya menjadi sadar dengan apa yang telah digagas oleh Mgr. Coady (Kanada) yang kemudian dirumuskan sebagai pendekatan ABCD (Asset Based Community Development), sebuah pengembangan dan pemberdayaan komunitas berbasis aset. Bahwa sesungguhnya setiap kelompok masyarakat memiliki kekuatan, karunia, talenta, dan aset individu yang tinggal dikembangkan. Inilah pendekatan yang patut direnungkan sekaligus menginspirasi setiap aktivis untuk menjadikan CU sebagai jalan pembebasan manusia dari kemiskinan dan bukan sekadar alat simpan pinjam.

Terima kasih atas kesempatan belajar ini; terima kasih Komisi PSE KWI dan tuan rumah Komisi PSE Keuskupan Agung Makassar melalui CU Sauan Sibarrung.

Jemy Balubun, MSC

 

 

Share this Post:
Pengurus Credit Union Hati Amboina

Artikel Terkait: