Konsinyering FORKOPI dan Baleg DPR RI: Menjaring Usulan dari Penggiat Koperasi

Pada 6 Maret 2025, Forum Koperasi Indonesia (FORKOPI) mengadakan konsinyering terkait penyusunan RUU Perkoperasian bersama Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Acara ini berlangsung di Sky Ballroom, lantai 26 Hotel Aston Priority Simatupang, Jakarta Selatan. Sebanyak 25 dari 48 anggota Panja Baleg RUU Perkoperasian turut hadir, mewakili enam fraksi. Selain itu, sejumlah tenaga ahli anggota legislatif juga mengikuti diskusi tersebut. FORKOPI mengundang perwakilan penggiat koperasi dari 17 lembaga primer maupun sekunder koperasi. Dari Gerakan Credit Union (CU), hadir PUSKOPCUINA, Inkopdit, Puskhat, dan Puskop CU Borneo. PUSKOPCUINA diwakili oleh Sekretaris Pengurus serta General Manager.

Foto: Peserta dari Gerakan CU: PUSKOPCUINA, Inkopdit, Puskhat, dan Puskop CU Borneo (Kiri ke Kanan: Dwi, Simon Jaang, Martono, Deo, Erowin dan Primus)
Acara yang dimulai sekitar pukul 17.30 WIB ini menghadirkan dua akademisi sebagai narasumber, yaitu Prof. Angkasa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan Prof. Rena Yulia, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Diskusi berlangsung interaktif, sesekali diselingi canda dari Mayjen (Purn) Sturman Panjaitan yang memimpin jalannya pertemuan. Sturman menyampaikan apresiasi kepada FORKOPI atas inisiatifnya memfasilitasi pertemuan ini, serta kepada para penggiat koperasi yang telah hadir. "Kami di Panja telah beberapa kali mengadakan pertemuan guna menyerap masukan terkait RUU Perkoperasian ini," ujarnya.
Salah satu aspek krusial yang dibahas adalah ketentuan sanksi pidana penjara dalam RUU Perkoperasian, yang merupakan revisi keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Prof. Angkasa menyoroti pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan kriminalisasi, yang dinilai bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern.
"Pasal 64M dan 64N mengatur sanksi pidana penjara maksimal satu tahun bagi pengurus koperasi yang melanggar ketentuan usaha simpan pinjam," ujar Prof. Angkasa. Menurutnya, hukum pidana seharusnya digunakan secara proporsional dan menjadi upaya terakhir. Jika diterapkan secara berlebihan, hal ini justru dapat merugikan koperasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan. Ia berharap DPR mempertimbangkan alternatif sanksi administratif atau denda, agar regulasi lebih adil dan selaras dengan prinsip hukum pidana modern. "Regulasi harus memberikan solusi, bukan sekadar hukuman," tegasnya.
Senada dengan itu, Prof. Rena Yulia juga mengkritisi ketentuan pidana dalam RUU Perkoperasian. Ia menegaskan bahwa perumusan tindak pidana harus proporsional, jelas, serta mencakup unsur subjek hukum, perbuatan yang dilarang, dan ancaman pidana yang sesuai. Jika tidak dirumuskan dengan baik, ketentuan ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat perkembangan koperasi di Indonesia.

Foto: FGD antara FORKOPI dengan Baleg DPR RI
"Dalam undang-undang administratif, hukum pidana seharusnya hanya menjadi instrumen untuk menegakkan norma administratif yang lebih utama," jelasnya. Ia juga mengusulkan agar denda dalam RUU Perkoperasian ditetapkan secara spesifik, bukan hanya merujuk pada kategori dalam KUHP. "Sebagai hukum pidana khusus, seharusnya RUU ini memiliki standar sendiri yang lebih jelas," pungkasnya.
Dalam diskusi, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga dari Fraksi Partai Golkar menyoroti aturan terkait pemberian pinjaman kepada non-anggota koperasi. Ia mengusulkan mekanisme agar peminjam yang belum menjadi anggota dapat langsung diberikan status keanggotaan untuk menghindari ketidakpastian hukum. "Sebaiknya, saat seseorang mengajukan pinjaman, ia otomatis diberikan status anggota atau kartu anggota untuk memastikan kejelasan statusnya," sarannya.
Ketua Presidium FORKOPI, Andy Arslan Djunaid, menegaskan bahwa FORKOPI telah berupaya mendorong percepatan pembahasan RUU Perkoperasian agar segera disahkan. "Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 sudah berusia 33 tahun dan tidak lagi mengakomodasi kebutuhan koperasi saat ini," ujar Andy. Ia menjelaskan bahwa FORKOPI telah melakukan berbagai diskusi dengan pemangku kepentingan, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Baleg DPR RI dan harmonisasi dengan pemerintah.
"Kami berharap aspirasi ini dapat didengar. Anggota FORKOPI datang dari berbagai daerah seperti Pontianak, Makassar, Yogyakarta, Lampung, dan Samarinda dengan biaya sendiri. Ini menunjukkan semangat perjuangan koperasi yang luar biasa. Kami ingin pemerintah bersama kami dalam mengembangkan koperasi, sesuai dengan visi Presiden Prabowo yang juga sangat peduli terhadap koperasi," ujar Andy.
Rapat ditutup dengan pernyataan Martin Manurung, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, yang mengapresiasi inisiatif FORKOPI dalam memperjuangkan revisi UU Perkoperasian. Ia mengingatkan bahwa upaya revisi ini telah diajukan beberapa kali sejak 1992, tetapi selalu terhenti di tengah jalan.
"Saya mengapresiasi FORKOPI karena telah mengangkat isu-isu penting ini langsung ke legislatif. Kita memerlukan komitmen bersama untuk memperbarui UU Perkoperasian, sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin menghidupkan kembali peran koperasi di Indonesia," ungkap Martin.
Semoga perjuangan gerakan koperasi di Indonesia dapat menghasilkan regulasi yang berpihak pada koperasi dan mendukung pengembangannya di masa depan.