Koperasi Dan UMKM Menjalankan Fungsi Pemberdayaan Masyarakat
ABSTRAK
Globalisasi, persaingan bebas dan sistim perekonomian yang kapitalistis ditengerai menjadi ”biang kerok” hancurnya sendi-sendi ekonomi dan kedaulatan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara semakin tidak mampu lagi menentukan nasib negaranya termasuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Negara terlalu sering ”tidak hadir” di tengah penderitaan rakyatnya sendiri. Kapitalisme global begitu menjerat, menyandera, dan ”merebut” kedaulatan sosial ekonomi di Indonesia. Arah ekonomi Indonesia semakin “merisaukan” dan ”roh pembangunan” untuk rakyat semakin hilang. Ekonomi pasar ”telah gagal” mengurangi kemiskinan dan gagal mengakhiri pengangguran. Pembangunan ”menggusur orang miskin” dan menjadikan mereka semakin termarginalisasi ”bukan menggusur kemiskinan”. Maka rakyat dengan segala kekuatan transformatif yang dimilikinya mau tidak mau harus siap menyelamatkan dirinya sendiri untuk terhindar dari kondisi yang lebih buruk. Rakyat memiliki potensi kekuatan transformatif luar biasa seperti koperasi credit union dan UMKM sebagai penggerak ekonomi rakyat. Apabila kekuatan-kekuatan transformatif dikelola dengan baik maka rakyat mampu membentuk konstruksi masyarakat yang dicita-citakan. Masyarakat yang berdaulat secara sosial ekonomi, sejahtera dan lebih bermartabat.1.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi dan persaingan bebas, komitmen pemerintah benar-benar diuji yaitu sejauh mana komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan sila ke-lima Pancasila dan masyarakatnya. Selain memberikan manfaat, globalisasi sekaligus mendatangkan mudarat. Aneka bentuk perjanjian baik bilateral maupul multilateral yang bersifat mengikat (binding agreement) dilakukan pemerintah dengan negara-negara lain. Tidak sedikit kesepakatan yang diambil ”menabrak” kepentingan nasional. Kesepakatan-kesepakatan tersebut bisa merupakan tahapan menuju integrasi perekonomian regional (seperti ASEAN 2015, ACFTA) ataupun global (WTO). Bentuk liberalisasi pasar dan privatisasi pada banyak sektor yang semestinya dikuasai negara karena menguasai hajat hidup rakyat banyak, tidak lagi di bawah kendali negara (Prabowo, 2008). Nasib masyarakat dan bangsa Indonesia diserahkan pada ”mekanisme pasar”. Kolonialisme baru secara diam-diam telah merasuk jauh ke dalam wilayah kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan kita. Negara tidak lagi leluasa mampu memberikan perlindungan atau skema perlindungan kepada para buruh, nelayan, petani, pengrajin, termasuk koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) – atau seluruh pelaku perekonomian di Indonesia.
Semangat kemandirian yang digaungkan para Pendiri Bangsa kian pudar di tangan rezim penguasa (dan pengusaha) yang lebih peduli kepentingan asing dan dirinya sendiri dibandingkan kepentingan rakyat banyak yang sesungguhnya pemilik dan ahli waris sah negeri ini.
Perekonomian Indonesia jauh dari berdikari malah dibanjiri barang-barang impor yang semestinya bisa diproduksi sendiri. Sebagai salah satu contoh pemenuhan kebutuhan garam nasional saja mesti impor (Prabowo, 2011). Pada tahun 2010 kebutuhan garam nasional sebanyak 3 juta ton namun hanya mampu memproduksi 24.000 ton. Sebagai akibatnya Indonesia harus impor 2,976 juta ton. Kenyataan ini sangat kontradiktif dengan luas laut Indonesia 5,8 juta hektar dan panjang garis pantai sepanjang 81.000 kilometer dengan lebih dari 17.000 pulau (Kompas, 23/4/2011).
Maka bukan hal yang mengherankan apabila para pelaku bisnis dan masyarakat umumnya menuding globalisasi, persaingan bebas dan sistim perekonomian yang kapitalistis sebagai ”biang kerok” hancurnya sendi-sendi ekonomi dan kedaulatan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bahkan dalam banyak hal semakin menjauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Tidak terlihat upaya yang gigih dilakukan pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan domestik. Pemerintah juga tidak mengoptimalkan mekanisme proteksi yang masih lazim pada era globalisasi. Walaupun banyak negara masih juga menerapkan proteksi untuk kepentingan nasionalnya. Ada kecenderungan pemerintah menyerahkan pada mekanisme pasar tanpa melihat ”kesiapan” di dalam negeri. Hasilnya, kita hanya menjadi ”pasar bagi pihak asing”. Jelas kondisi ini menghantarkan Indonesia ke posisi yang buruk dan semakin lebih buruk lagi. Memang ketergantungan dan jumlah utang luar negeri yang semakin besar membuat kita tidak berkutik ketika berhadapan dengan tekanan pihak asing. Negara semakin tidak mampu lagi menentukan nasib negaranya termasuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Ekonomi Indonesia sungguh mencerminkan berlakunnya prinsip survival of the fittest – hanya yang kuat saja yang mampu bertahan dan yang lemah harus menyingkir atau disingkirkan.
Bangsa Indonesia ternyata harus terus berjuang melepaskan diri dari “penjajahan”. Lepas dari penjajahan atas nama kolonialisme, kini terjerat dalam penjajahan baru atas nama globalisasi. Sejarah mencatat bahwa beberapa kali Indonesia mengalami masa-masa jatuh bangun. Ada kemajuan dalam beberapa bidang namun keterpurukan lebih banyak lagi. Terdapat tiga lembaga yang sering disebut “unholy trinity” yaitu Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ketiga institusi ini menjadi “motor utama” yang mentransformasi dunia melalui kebijakan neoliberal. Kebijakan neoliberal tersebut dalam bentuk perdagangan bebas, perluasan pasar ekonomi dan integrasi ekonomi nasional ke regional dan internasional. “Perdagangan dunia tidak adil”. Negara-negara maju memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasarnya bagi produk-produk mereka. Sebaliknya pasar di negara-negara maju diproteksi dengan berbagai “ketentuan” yang sulit dipenuhi oleh negara-negara miskin. Seperti ketentuan produk harus mempunyai sertifikat ISO,ecolabeling, standard kualitas dan ramah lingkungan. Fundamentalisme pasar (neoliberalisme) memenjara masyarakat dunia dalam lingkaran krisis demi krisis yang meresahkan. Dalam sistim perekonomian global bagi suatu negara yang ada hanya tersedia pilihan “ikut” atau “ditinggalkan”. Sulit bagi Indonesia untuk menghindarinya. Hal yang perlu dilakukan Indonesia adalah agar tidak terlibas di tengah jalan menjadi “negara gagal”, maka perbaikan secara menyeluruh dan tuntas terhadap masalah di dalam negeri. Pembangunan haruslah demi kemakmuran rakyat untuk mencapai societal welfare and happiness, tidak boleh menjadi proses dehumanisasi kapitalistik.
DOMINASI ASING PADA PERBANKAN NASIONAL
Meningkatnya jumlah bank umum nasional yang kepemilikannya dikuasai asing semakin meningkat pesat semenjak keluarnya UU No 10 tahun 1998, kemudian diikuti dengan Keppres No 171 thaun 1999 yang memberikan peluang pihak asing untuk memiliki bank umum nasional hingga sembilan puluh sembilan (99) persen (Tabel 1). Bagi bank/lembaga asing tentu sebagai kesempatan untuk menguasai kepemilikan (saham) bank-bank umum nasional dan sejumlah alasan bisnis yang mendasarinya. Memang keluarnya UU tersebut terkait dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 dan memenuhi anjuran IMF.
Secara umum bisnis perbankan di Indonesia masih beroperasi pada tingkat yang tidak efisien. Hal ini mengingat spread yang diperoleh perbankan antara 6 persen – 12 persen sebagai suatu persentase yang sangat tinggi dibandingkan perbankan di negara maju bahkan negara-negara tetangga sekalipun. Kondisi yang menggiurkan seperti inilah yang mendorong investor asing tertarik untuk berbisnis perbankan di Indonesia. Perkembangan yang begitu cepat terjadi, bahkan statistik Bank Indonesia menyebutkan lebih dari 67 persen aset perbankan nasional dikuasai oleh investor asing. Diperkirakan persentase tersebut lebih besar lagi pada tahun-tahun mendatang.
Tabel 1: Asing Kuasai Perbankan Nasional
No |
Bank Nasional |
Kepemilikan Asing ( persen) |
Nama Bank/ Lembaga Asing |
Negara |
1 |
Danamon |
67,42 |
Temasek Holding |
Singapura |
2. |
Bank Buana |
68,94 |
UOB Singapura |
Singapura |
3. |
UOB Indonesia |
100,00 |
UOB Singapura |
Singapura |
4. |
NISP |
72,00 |
OCBC |
Singapura |
5. |
OCBC Indonesia |
100,00 |
OCBC |
Singapura |
6. |
Swadesi |
76,00 |
State Bank of India |
India |
7. |
Indomonex |
76,00 |
State Bank of India |
India |
8. |
Nusantara P |
75,41 |
Tokyo Mitsubishi |
Jepang |
9. |
CIMB Niaga |
96,92 |
CIMB Group Sdn Bhd |
Malaysia |
10 |
Bumiputera |
69,90 |
ICB Finc.G. Holding AG |
Malaysia |
11 |
Mestika Dharma |
80,00 |
RHB Capital Berhad |
Malaysia |
12 |
BII |
54,33 |
Maybank |
Malaysia |
13 |
Haga |
100,00 |
Rabobank |
Belanda |
14 |
Rabobank |
100,00 |
Rabobank |
Belanda |
15 |
Hagakita |
100,00 |
Rabobank |
Belanda |
16 |
Halim Internasional |
90,00 |
ICBC China |
China |
17 |
Swaguna |
99,98 |
Victoria |
Australia |
18 |
ANK |
95,00 |
Commonwealth |
Australia |
19 |
Panin |
35,00 |
ANZ Bank |
Australia |
20 |
ANZ Panin Ind |
100,00 |
ANZ Bank |
Australia |
21 |
SCB Indonesia |
100,00 |
Standard Chatered B |
Inggris |
22 |
Permata |
44,52 |
Standard Chatered B |
Inggris |
23 |
BTPN |
71,86 |
Texas Pacific |
AS |
24 |
Bank Ekonomi Raharja |
98,96 |
HSBC |
Hongkong |
Sumber: Kompas, 19/8/2009, dan 18/2/2011
Bank-bank umum nasional yang kepemilikannya dikuasai pihak asing tersebut juga berhasil merebut pangsa pasar kredit usaha MKM (Mikro, Kecil, Menengah) dan semakin giat menggarap segmen ini bahkan sampai di desa-desa. Bahkan bank-bank tersebut juga gencar menawarkan kredit tanpa agunan untuk di bawah Rp 50 juta. Pada satu sisi kehadiran bank/lembaga asing bisa menurunkan tingkat bunga kredit yang diperoleh pengusaha MKM yang selama ini bisa lebih dari 30 persen menjadi kurang dari 20 persen. Tentu hal ini menguntungkan bagi pengusaha MKM. Namun tidak bagi BPR, lembaga keuangan mikro di desa termasuk juga koperasi Credit Union. Mereka kemungkinan tak akan mampu bersaing.
Memang bila proses kepemilikan pihak asing atas perbankan nasional ini meningkat secara terus menerus tidak terkendali - kedaulatan perekonomian nasional terancam ”dikooptasi pihak asing”. Sistim perbankan yang merupakan pilar utama aktivitas perekonomian akan dikendalikan pihak asing. Sungguh suatu yang mengherankan memberikan kebebasan pada pihak asing untuk menguasai pemilikan sebuah bank nasional. Negara Malaysia membatasi pemilikan pihak asing atas suatu bank tidak boleh melebihi 26 persen, Australia membatasi sampai dengan 15 persen dan Amerika Serikat 10 persen. Lebih ironis lagi bank-bank nasional Indonesia tidak bisa memasuki/membeli bank-bank di luar negeri termasuk di Malaysia sekalipun. Dengan dikuasai asing kemungkinan ekonomi Indonesia ”bisa saja lebih maju”. Tetapi Indonesia tidak lagi merdeka dan itu tidak akan diterima bangsa Indonesia yang tidak mau dijajah bangsa lain.
KOPERASI CREDIT UNION - PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kedaulatan sosial ekonomi seperti yang diamanatkan pada konstitusi Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaannya perlu ”diperjuangkan” banyak pihak. Tekanan pihak asing yang sudah dan masih akan gencar lagi, bisa-bisa semakin menggoyahkan kedaulatan sosial ekonomi Indonesia. Apalagi arah pembangunan nasional semakin merisaukan” dan ”roh pembangunan untuk rakyat hilang”. Maka rakyat mau nggak mau harus bisa bangkit dengan kekuatannya sendiri. Masyarakat dengan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya diharapkan mampu menghadang kekuatan neoliberalisme yang sudah memasuki dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan, kejamnya kolonialisme berhasil diusir dari Indonesia karena ”rakyat bersatu”. Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam hal ini menjadi kebutuhan yang mendesak. Peranan koperasi Credit Union sebagai salah kekuatan ekonomi kerakyatan menjadi begitu signifikan.
Terdapat nilai-nilai intrinsik menjadi sumber keberdayaan masyarakat dan dunia usaha. Sumber-sumber tersebut antara lain nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita - kebhinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat dan dunia bisnis mampu bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang sulit melepaskan diri dari perangkap dan himpitan kekuatan global, kemiskinan dan keterbelakangan.
Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, di mana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah
”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen (Woolcock, 2002). Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata.
Kehadiran lembaga keuangan mikro selama ini sangat membatu terutama bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan rumah tangga terutama di pedesaan. Berbagai kemudahan persyaratan dan pelayanan ditawarkan menjadikan lembaga kuangan mikro menjadi alternatif menarik bagi mereka yang membutuhkan akses dana. Lembaga keuangan mikro tersebut antara lain: ada koperasi, BMT, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), BUKP, dan Credit Union (CU). Di antara beberapa lembaga keuangan mikro tersebut Koperasi Credit Union (CU) merupakan salah satu lembaga kuangan mikro yang unik dan begitu pesat perkembangannya seperti di Kalimantan dan di daerah lainnya.
GERAKAN KOPERASI - CREDIT UNION (CU)
Keberadaan koperasi pada awalnya merupakan bentuk perlawanan dari kegagalan sistim kapitalisme dan menjadi jalan tengah adanya ketegangan tarikan antara sistim dominasi negara dan sistim fundamentalisme pasar. Koperasi merupakan organisasi yang berbasis pada ”orang” bukan berbasis pada modal. Sejak jaman kolonial Belanda terdapat delapan Undang Undang dan satu Perpu yang mengatur Perkoperasian di Indonesia (Suroto, 2011). Keberadaan koperasi mendapat pengakuan resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa karena koperasi telah berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Sebagai sebuah sistem koperasi tumbuh di hampir 100 negara yang berbeda sistim ideologi, sosial, ekonomi dan politik. Bahkan pada Sidang Umum PBB 19 Desember 2009 telah ditetapkan bahwa tahun 2012 sebagai Tahun Keperasi Internasional.
Di Indonesia terdapat Koperasi - Credit Union atau dikenal sebagai koperasi kredit sejak tahun 1970an dan mempunyai peranan penting dalam hal keuangan, kelembagaan dan sosial. Sebagai lembaga keuangan berbentuk koperasi, Credit Union dimiliki dan diawasi oleh anggota yang memanfaatkan pelayanannya.
Credit Union tidak dimaksudkan untuk memupuk keuntungan (profit oriented) dan dirancang sebagai wadah yang aman dan nyaman bagi anggotanya untuk menabung dan mendapatkan pinjaman serta pelayanan jasa-jasa keuangan lainnya dengan biaya bersaing (WOCCU, 2003).
Sesuai dengan kebutuhan anggota dan perkembangannya, Credit Union menyediakan jasa-jasa keuangan seperti halnya lembaga keuangan perbankan seperti rekening giro, tabungan, pinjaman berbagai tujuan, asuransi dan jasa pengiriman.
Credit Union/koperasi kredit tidak banyak berbeda dengan KSP/USP dalam hal operasionalnya. Hal yang membedakan dengan jenis koperasi lainnya, Credit Union melakukan mobilisasi tabungan dan bergantung pada ”sumberdaya sendiri”. Kemandirian Credit Union sebagai lembaga keuangan mikro semakin tangguh karena dikelola secara profesional dengan tetap memperhatikan aspek solidaritas para pemangku kepentingan di dalamnya yang didasarkan pada prinsip kerelaan sesuai peran masing-masing.
Berkaitan dengan kerja dan kinerja Koperasi-Credit Union terdapat dua kharakteristik penting yang membatasi: (1) Dalam sebuah Credit Union (dalam koperasi secara umum) anggota adalah pemilik organisasi sekaligus konsumen output dan pemasok input organisasi tersebut. Kharakteristik demikian mempunyai implikasi bahwa anggota tidak dapat secara langsung memaksimisasi keuntungan dalam lingkungan Credit Union; (2) Dalam sebuah Credit Union, seorang anggota juga merupakan sumber permintaan sekaligus penawaran dari dana kredit. Credit Union kemudian menjadi perantara antara anggota penabung dan anggota peminjam. Heterogenitas tersebut sering menjadi sumber konflik antar anggota. Credit Union tidak dapat secara simultan memaksimumkan dividen untuk penabung dan meminimumkan bunga pinjaman bagi peminjam (Kusumajati, 2009).
Secara nasional, volume usaha Credit Union memang masih relatif kecil dibandingkan lembaga perbankan. Namun dalam perkembangnya, CU di Indonesia mampu membangun karakternya yang menonjol sebagai lembaga keuangan mikro berbasis keanggotaan dan mempunyai kinerja yang baik dalam hal keuangan, kelembagaan dan sosial terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Sebagai learning community, ada tiga pilar utama penjamin keberlangsungan CU yaitu pendidikan, swadaya dan solidaritas.
Dengan adanya pendidikan bagi setiap anggota menjadikan perkembangan Credit Union begitu pesat terutama di luar Jawa. Sebut saja CU Lantang Tipo, CU Pancur Kasih dan CU Keling Kumang, dan CU Satolop di Kabupaten Tapauli Utara. Kekuatan transformatif masyarakat yaitu ”budaya menabung” di CU mempunyai dampak ”dahsyat”. Gerakan warga kampung bersama CU Keling Kumang yang dulunya hidup miskin, kini hidupnya relatif lebih sejahtera, anak-anaknya mengenyam pendidikan hingga sarjana. Pengalaman di atas menunjukkan bahwa ”masyarakat miskin menjadi lebih berdaya ketika bersatu dan saling tolong menolong”. Suatu hal yang pantas diterima CU Keling Kumang berupa penghargaan dari MenteriKoperasi dan Usaha Kecil Menengah – sebagai koperasi terbaik dalam sektor simpan pinjam pada bulan Juli 2010 (Prabowo, 2010).
Pemberdayaan anggota CU didorong dengan berbagai program pendidikan yang sekaligus kekhasan yang membedakan Credit Union dengan lembaga keuangan lain. Program pendidikan juga ditujukan untuk mendorong kemandirian anggota. Program pendidikan tersebut tidak saja berkaitan mengadministrasikan transaksi keuangan tetapi juga bagaimana anggota CU dapat mengidentifikasi potensi-potensi yang mereka miliki. Selanjutnya anggota CU mampu memanfaatkan potensinya untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui berbagai usaha-usaha produktif yang dipilihnya. Di dalam program pendidikan ini diberikan berbagai macam pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi pengembangan diri. Beberapa hal yang diberikan antara lain berkaitan dengan pola pikir dan olah kepribadian. Dengan pendidikan ini diharapkan para anggota dapat berkembang bukan hanya dari sisi finansial, tetapi juga cara berfikir, kepribadian, sosial bahkan iman. Pada akhirnya terwujudlah prinsip keswadayaan anggota CU dan Credit Union sebagai sebuah lembaga keuangan mikro.
PELUANG DAN POTENSI PEMBERDAYAAN
Koperasi Credit Union dalam “jati dirinya” memiliki pilar, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai Credit Union yang berlaku universal. Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa bila seluruh “jati diri Credit Union” dikelola dengan profesional maka pelan-pelan tapi pasti, anggota CU yang sebelumnya miskin selanjutnya mulai hidup lebih baik dan lebih baik lagi. Lama kelamaan semakin nampak perkembangan yang positif juga terjadi pada masyarakat sekitar. Perkembangan selanjutnya tidak saja dari segi materi, tetapi juga watak, kerjasama dan kebersamaan masyarakat pun semakin meningkat.
Selama ini kebanyakan gerakan Credit Union masih sebatas fokus pada aktivitas keuangan. Kinerja Credit Union berpeluang lebih banyak lagi bila juga melakukan ekspansi memfasilitasi anggota dalam “pengembangan bisnis” atau usaha-usaha produktif mereka (Regina, 2009). Credit Union bisa memanfaatkan kerjasama antar Credit Union baik Primer, Sekunder, maupun antar Puskopdit BKCU dalam pengembangan jaringan bisnis. Jaringan bisnis sangat potensial untuk penyediaan bahan baku yang dibutuhkan sekaligus pemasaran produk dan jasa-jasa. Tersedianya ICT (information and communication technology) yang sederhana seperti handphone (HP) dan internet sangat memungkinkan bekerjanya jaringan bisnis berlangsung secara efisien. Pola gerakan Credit Union ini mampu meningkatkan keunggulan bersaing UMKM sekaligus kemandirian bangsa di tengah menghadapi banjirnya produk-produk dari China dengan berbagai pilihan dan harganya super murah.
Beberapa langkah strategis telah dikembangkan tim PPM - Universitas Sanata Dharma untuk mendukung anggota CU Sandya Swadaya dan komunitas lainnya untuk pengembangan bisnis dan jaringan bisnis. Berbasiskan pada social enterprise (perusahaan sosial), social entrepreneurship (kewirausahaan sosial) dan pengelolaan secara profesional - menjadikan usaha ekonomi produktif anggota CU dan komunitas berkembang dan berkelanjutan. Secara garis besar tim mengadopsi dan mengadaptasikan model pengembangan perusahaan sosial yang telah terbukti berhasil di Filipina, Inggris dan Kanada, sehingga mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan anggota CU dan masyarakat.
Langkah pengembangan anggota Credit Union pada sisi pengembangan bisnis sosial akan memperkuat gerakan CU dan memfasilitasi gerakan sosial - ekonomi kerakyatan. Hal tersebut sejalan dengan visi Puskopdit BKCUK ”Menjadi Puskopdit BKCUK yang kokoh dan terpercaya untuk perubahan”. Melalui pendidikan terus menerus akan memperkuat kemandirian anggota dan lembaga Credit Union. Demikian juga solidaritas gerakan Credit Union akan semakin memperkokoh kemandirian bangsa seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Perkembangan pesat CU di beberapa tempat tidak terlepas dari kesuksesan yang diraih dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat. CU semakin bisa diterima dan dimiliki oleh banyak lapisan masyarakat Indonesia karena basis CU betul-betul masyarakat. ”Oleh masyarakat dan untuk kesejahteraan masyarakat”. Dalam kondisi sosial ekonomi sekarang yang “berat”, peran CU semakin signifikan menghadirkan solusi pemberdayaan ekonomi rakyat untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ada kritik terhadap beberapa CU
mengapa kok menamakan diri sebagai CU pengelolaan tidak beda dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya? Pada gilirannya tidak mensejahterakan anggota dan masyarakat ?
Menurut hemat penulis, tidak semua pengelola CU tersebut “setia pada pilar, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai dasar pengelolaan CU”. Sebagai akibatnya “gagal keberpihakannya” pada kepentingan anggota dan masyarakat demikian juga aspek keberlanjutannya.
HAMBATAN - KOPERASI CREDIT UNION
Gerakan Credit Union yang berbasiskan ekonomi kerakyatan, secara nasional masih terkendala dengan keberadaan Undang-Undang No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dalam beberapa hal berbeda dengan prinsip-prinsip Credit Union yang diadopsi dari prinsip-prinsip koperasi universal. Sebagai akibatnya masih banyak Credit Union di Indonesia tidak menggunakan badan hukum koperasi.
Berdasarkan Undang Undang Perkoperasian, Credit Union sering diklasifikasikan sebagai lembaga keuangan mikro informal atau bahkan illegal (Kusumajati, 2009). Namun demikian Credit Union tetap tumbuh dan berkembang berdasarkan prinsip-prinsip koperasi universal yang diadaptasi pada nilai-nilai lokal, terbangun dalam dan terkait dengan jaringan kelembagaan lokal, dan didukung oleh struktur kelembagaan Credit Union Global yang relatif kuat dan mapan. Bagi gerakan koperasi Credit Union, Undang-Undang memang bukan hal yang paling menentukan. Sebab dalam diri koperasi Credit Union sudah ada regulasi-diri yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlaku global. Sebagai bukti empiris walaupun tidak memiliki Undang Undang Koperasi, di Norwegia dan Denmark, koperasi berkembang dengan baik bahkan di antaranya termasuk dalam kelompok Koperasi Global 300. Pada koperasi global 300 – untuk negara berkembang - jumlah koperasi terbanyak berasal dari Thailand (40), Paraguay (20), dan Kolombia (20). Suatu yang mengejutkan - tak ada satupun koperasi di Indonesia masuk pada kelompok ini. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia terdapat 13 koperasi, Vietnam (10), dan Sri Lanka (5).
Data empiris di Bali menunjukkan bahwa tidak semua koperasi mengalami keberhasilan. Seperti diberitakan suarapembaruan.com (26/10/2010), dari 3.968 unit koperasi yang terdaftar di Bali, ternyata hanya 3.594 unit koperasi (90,57 persen) saja yang aktif beroperasi. Sedangkan 374 unit koperasi (9,43 persen) lagi dipastikan tidak operasi lagi atau tinggal papan nama. “Secara kelembagaan, 374 unit koperasi itu masih terdaftar. Namun, dalam prakteknya ratusan koperasi itu tidak aktif lagi karena anggotanya sudah tidak ada lagi.
RUU Perkoperasian tengah digodok di DPR dan ditetapkan dalam agenda legislasi pada tahun 2011. RUU Perkoperasian tersebut sebenarnya sudah diproses lebih dari 10 tahun. Secara “normatif” tujuan pemberlakuan Undang-Undang Perkoperasian diharapkan memberi status hukum koperasi, memfasilitasi kerja koperasi, dan memastikan bahwa koperasi-koperasi bekerja sesuai dengan prinsip koperasi yang berlaku universal atau sesuai dengan “jati dirinya”. Kerangka hukum Perkoperasian berfungsi mengatur organisasi dan kerja koperasi, melindungi dan memelihara karakter koperasi.
Namun, mencermati RUU Perkoperasian terdapat beberapa pasal yang kemungkinan berdampak melemahkan jati diri koperasi. RUU Perkoperasian cenderung kapitalistik (Suroto, 2011). Memang ada beberapa hal yang keluar dari jati diri koperasi seperti pada: pasal 1- 4 menyangkut definisi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip; pasal 9 proses pendirian koperasi; pasal 26 – definisi anggota sebagai pengguna jasa; pasal 49 – dominasi peranan pengawas – lebih mirip pengawasan pada korporasi; pasal 54 – persyaratan pengurus; dan tidak adanya sanksi yang jelas. Kita berharap - RUU Perkoperasian - kelak setelah dibahas dengan seksama, disempurnakan dan akhirnya disyahkan menjadi Undang Undang - mampu menjamin lingkungan kondusif bagi jati diri koperasi tumbuh dan berkembang, memberikan kontribusi bagi pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang lebih bermartabat.
PENUTUP
Soal kedaulatan sosial ekonomi merupakan persoalan ”ideologi”. Dalam hal ini menyangkut visi, komitmen,dan sikap keberpihakan politik. Bangsa ini tidak hanya butuh sekedar makan, tetapi yang lebih penting juga butuh harga diri, harkat dan martabat seperti yang diamanatkan dalam konstitusi negara kita. Karena itu pula sudah semestinya kita tidak mau didekte oleh pihak asing. Bung Karno dengan Trisakti-nya mengajarkan pentingnya
”berdikari di bidang ekonomi”
Kesejahteraan sosial ekonomi berdasarkan keringat sendiri di negeri sendiri.
Credit Union (CU) memiliki karakteristik dasar seperti koperasi dengan beberapa perbedaan dalam tata kelolanya. Dalam perkembangannya, Credit Union memiliki peranan yang sangat signifikan dalam memperkuat dan mewujudkan cita-cita gerakan Koperasi yaitu meningkatkan kesejahteraan serta memenuhi aspirasi dan kebutuhan anggotanya. Sebuah koperasi dibentuk karena ada sekelompok orang yang merasa senasib dan menyadari bersama nasib mereka harus diperbaiki. Koperasi sebagai organisasi ekonomi kerakyatan berwatak sosial, berdasarkan azas kekeluargaan merupakan suatu wadah usaha bersama memiliki peran yang strategis dalam tata ekonomi nasional. Kehadiran koperasi - Credit Union di tengah masyarakat turut meningkatkan mutu kehidupan masyarakat (kemandirian) lewat pendidikan yang rutin dilakukan CU terutama terhadap para anggota maupun masyarakat sekitarnya. Demikian juga solidaritas gerakan Credit Union akan semakin memperkokoh kemandirian bangsa seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
T.Handono Eko Prabowo, MBA, Ph.D Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta Email: [email protected], Phone: 081328458843; Fax: +62274562383
Daftar Pustaka
Kompas 23/4/2011, Harga Garam Naik – Targetkan Kenaikan Produksi 306.000 ton.
Kompas 26/1/2011, PM Sitanggang, Cerita Sukses “Credit Union”, CU Cinta Mulia, Pematang Siantar, Sumatera Utara
Kusumajati, Titus Odong, 2009, Credit Union: Sebuah Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Anggota yang Mendorong Kemandirian, Seminar Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro untuk Kemandirian Melalui Gerakan Credit Union, PPM – Universitas Sanata Dharma, 18 Juli 2009.
Prabowo, T.Handono Eko, (2008), Dari Piagam ASEAN Menuju Kemakmuran ASEAN, Business News, No 7721/Tahun LII, p.1-2.
Prabowo, T. Handono Eko dan Budisusila, A (2010), Model Penguatan Modal Sosial dan Akses Modal Untuk Pengentasan Masyarakat Miskin Yang Berkelanjutan – Studi Pada Komunitas Nelayan Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta, Laporan Penelitian Hibah DP2M - STRANAS 2010.
Prabowo, T. Handono Eko (2010), Pengembangan Kekuatan Kekuatan Transformatif Masyarakat untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi, Buku Pidato Dies Universitas Sanata Dharma ke-55.
Prabowo, T.Handono Eko dkk (2011), Inovasi Teknologi Produksi Garam Berbasis Industri Kerakyatan untuk Kemandirian dan Kesejahteraan Bangsa, Hibah DP2M – Penelitian Unggulan STRANAS 2011- 2012.
Regina, Ma. (2009), For the People with People:”Developing Social Enterprises in The Philippines”, Ateneo De Manila University Press.
Suroto, 2009, RUU Perkoperasian Kapitalis, Kompas, 25 April 2011
WOCCU, 2003, A Technical Guide to Rural Finance: Exploring Products, WOCCU Technical Guide # 3. http://www.woccu.org, diakses 20 April 2011.
Woolcock, Michael. (2002). Social Capital in Theory and Practice: Reducing Poverty by Building Partnerships between States, Markets and Civil Society, UNESCO