Refleksi Bekerja Sebagai Sebuah Panggilan Hidup
Sebanyak 46 aktivis PUSKOPCUINA yang terdiri dari unsur pengurus, pengawas, penasihat, komite, dan manajemen, mengikuti rekoleksi bersama dengan tema “Bekerja Adalah Sebuah Panggilan Hidup.” Rekoleksi yang difasilitasi oleh Pastor Paulinus Surip, ketua Komisi PSE Keuskupan Agung Pontianak dilaksanakan di rumah retret Santo Johanes Paulus II, Anjongan, Kab. Mempawah.
Pada 3 (tiga) hari sebelumnya para aktivis PUSKOPCUINA juga telah melaksanakan kegiatan Organizational Development (OD) di tempat yang sama. Rekoleksi ini diharapkan semakin menguatkan dan menghidupkan semangat para aktivis PUSKOPCUINA dalam melayani CU primer anggotanya. Rekoleksi diawali dengan Misa bersama yang juga dipimpin Pastor Surip, selain peserta rekoleksi turut hadir pula suster dan pengelola di rumah retret tersebut.
Dalam sambutan pembuka, ketua pengurus PUSKOPCUINA Marselus Sunardi menegaskan bahwa pembangunan manusia sebagai inti orang atau manusia yang ada di gerakan CU, menghidupi nilai-nilai yang universal dalam gerakan CU. Harus dihidupi terus dengan tanda nyata dalam kehidupan nyata, ada 6 nilai yaitu sikap, visioner, kejujuran, pengorbanan, keberanian, integritas. Jangan lupa kegiatan seperti ini di programkan, seringkali jadi abai karena tidak enak dengan minoritas. Kita bersyukur atas apa yang terjadi, bersinergi dan semakin memampukan kita dalam rahmat Tuhan. Berkat Tuhan selalu mengalir pada kita.
Pastor Surip menjelaskan bahwa manusia adalah makluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun suatu pekerjaan, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai di hadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman serta gaya hidup dewasa ini, makna dan nilai bekerja nampaknya telah bergeser. Bekerja dipahami secara sempit sebagai hal duniawi belaka. Kebanyakan orang tanpa sadar melihat makna bekerja sekadar mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada zaman yang semakin kompleks, makna dan nilai bekerja telah menyempit menjadi mengejar nilai ekonomis. Kepuasan dalam bekerja identik dengan kepuasan materialistik. Manusia bekerja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, namun untuk mengumpulkan modal. Modal dan uang dikejar demi uang itu sendiri dan tidak lagi mempertimbangkan kesejahteraan bersama (bonum commune).
Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi melampaui kebutuhan dan memiliki orientasi mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan demi mendapatkan hasil ekonomis seseorang mengabaikan nilai moral dalam bekerja dengan melakukan praktik ketidakjujuran. Kasus korupsi yang menggurita di Indonesia adalah contoh konkrit bagaimana orang bekerja mengumpulkan harta secara tidak jujur.
Lewat bekerja pula, manusia menghasilkan sesuatu untuk orang lain. Dengan demikian, pekerjaan membuat manusia menghasilkan sesuatu, menjadi berubah dan produktif. Karena sumberdaya manusia yang bekerja jauh lebih luas daripada sumber daya alam dan karena itu membuat manusia semakin sadar untuk mengolahnya. (Centesimus Annus 31).
Apa tujuan rekoleksi bagi aktivis PUSKOPCUINA kali ini?
Memahami hubungan antara bekerja dan hidup sehingga bahwa untuk bisa hidup itu perlu bekerja. Dan memahami makna bekerja dalam kehidupan sehingga setiap pribadi terpanggil untuk bekerja.
Refleksi bekerja sesungguhnya dapat diinterpretasikan:
- Bekerja (Ber dan Kerja, makna secara aktif artinya mengerjai, sedangkan makna dalam arti pasif artinya dikerjai. Melakukan suatu Pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu: Ia berkerja di perkebuanan)
- Menghormati dan menghargai hak paten dari penemuan
- Profesionalisme
- Totalitas (Kolose 3: 23-24)
- Kepandaian; orang yang pandai adalah mereka yang dapat menggunakan bakat-bakat
- Kerendahan Hati; kepandaian tanpa dilandasi kerendahan hati akan mudah jatuh pada kesombongan.
- Sikap rendah hati pertama-tama terwujud dalam rasa hormat
- Manusia yang rendah hati adalah dia yang hormat pada Tuhan penciptanya.
- Ketekunan; nilai yang diperjuangkan oleh pribadi manusia yang selalu memiliki optimisme dan pengharapan. “Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan – AMSAL 16:8”
- Kejujuran
- Keadilan
Hukum utama keadilan sejati “cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Kejadian 1:26. Di dalam dunia yang mengejar kesenangan, kebebasan dan kesenggangan, ‘kerja’ dipandang sebagai sesuatu yang berat dan menyusahkan.
Kutipan menarik dari BOB BLACK “tidak seorang pun seharusnya bekerja. Kerja adalah sumber dari hampir semua kesengsaraan di dunia. Hampir semua kejahatan yang dapat anda sebut; itu berasal dari bekerja atau hidup di dunia yang dirancang untuk bekerja. Untuk menghentikan penderitaan, kita harus berhenti bekerja.” (The Abolition Of Work, 1985).
Banyak juga orang beranggapan bahwa bekerja adalah sebuah kutuk, dan bahwa nanti di sorga, manusia tidak akan lagi bekerja untuk selama-lamanya, hanya menikmati hidup dalam kekekalan, tanpa ada kematian dan kesusahan.Menarik jika kita memperhatikan bagaimana manusia bekerja sedemikian rupa, lalu berkesempatan menikmati hasil jerih lelah mereka dengan waktu luang yang mereka miliki. Tetapi ketika manusia memiliki banyak waktu luang untuk tidak melakukan apa-apa, misalnya ketika mereka berlibur, akhirnya mereka menjadi bosan karena merasa tidak melakukan apa-apa.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah manusia mencari jalan keluar dari “kutuk” pekerjaan sehingga bisa bahagia?Mengapa ketika manusia tidak bekerja mereka juga tidak bahagia?
Jadi haruskah kita bekerja? Atau pengertian bekerja yang di salah artikan dengan perhambaan yang seharusnya di artikan ber karya?
Kerja adalah bagaian dari Jati Diri Manusia
Alkitab dengan jelas mencatat bahwa pekerjaan bukanlah sebuah kutuk! Bahkan ‘kerja’ sudah ada sebelum manusia jatuh dalam dosa. Tugas pertama yang Tuhan berikan kepada manusia adalah bekerja. (Kej 2:15) Selain itu Alkitab mencatat bahwa Allah adalah pribadi yang bekerja. Ia sendiri yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. (Kej 1:1-15) Bekerja dalam arti berkarya merupakan suatu hal yang Allah lakukan dan kita sebagai ciptaan-Nya diberikan kehormatan untuk mengambil bagian sebagai rekan sekerja-Nya Jadi bekerja/berkarya adalah sesuatu yang baik, karena Allah sendiri bekerja. (Kej 1:26 , 2:15).
Totalitas dalam bekerja dapat diukur dengan penghayatan dari Paulus menulis kepada jemaat di Kolose: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.” (Kol 3:23-24).
Bekerja adalah Melayani Tuhan
Di dalam dunia kekristenan modern, terdapat pemahaman bahwa ada perbedaan antara bekerja dan melayani Tuhan. Bekerja dipahami sebagai sebuah aktivitas yang bersifat hanya untuk mencari nafkah ataupun mencapai tujuan yang bersifat duniawi.
Sedangkan melayani Tuhan dipahami sebagai aktivitas yang bersifat secara eksklusif hanya untuk Tuhan. Akibatnya bekerja dianggap lebih rendah, sedangkan melayani Tuhan lebih mulia. Ini yang menyebabkan munculnya 'dikotomi' istilah pekerjaan "sekuler" dan "sakral."
Buah dari sebuah ketekuanan
Tuhan memperingatkan bahwa orang yang malas dan tidak mau bekerja akan mengalami kemiskinan (Ams 14:23; 6:6-11). Disisi lain Paulus bahkan memperingatkan jemaat di Tesalonika untuk menjauhi anggota jemaat yang tidak mau bekerja, bahkan menyatakan bahwa mereka yang tidak bekerja tidak boleh makan (2 Tes 3: 6,10).Pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menjadi kesaksian yang memuliakan Tuhan. (Mat 5:16).
Bekerja terus dan berdoa terus tidak dibenarkan, mengapa?
Tuhan juga tidak ingin manusia bekerja sedemikian rupa sehingga lupa kepada Tuhan dan pekerjaan itulah yang dimuliakan. Bahkan pekerjaan menjadi “tuhan” mereka. Yesus memperingatkan kita akan hal ini ketika Ia mengajar tentang mengumpulkan harta (Mat 6:19-24) dan tentang kekuatiran (Mat 6:25-34).
Apa yang menjadi evaluasi dan refleksi kita yang harus terus dihayati?
Bahkan Tuhan sendiripun memberikan teladan dengan “beristirahat” pada hari ketujuh (Sabat). Tentunya hal ini tidak berarti Tuhan kelelahan setelah bekerja dan membutuhkan istirahat. Tuhan ingin agar manusia tidak senantiasa terikat kepada pekerjaan tetapi juga harus beristirahat.Beristirahat berarti kita masuk dalam perhentian dan mengalami persekutuan dengan Tuhan.
- Kepandaian
- Kerendahan hati
- Ketekunan
- Kejujuran
Orang yang pandai adalah mereka yang dapat mengunakan bakat-bakat hidupnya bagi orang lain, bukan bagi kehebatan atau kesombongan. Orang yang pandai tidak hanya memiliki getaran pikiran pada otak yang tersimpan dalam batok kepala. Getaran kecerdasan itu menjalar dalam setiap saraf dan sel di seluruh tubuh, sehingga mengerakan dirinya untuk menggunakannya bagi kebaikan. Kepandaian tanpa dilandasi kerendahan hati akan mudah jatuh pada kesombongan. Sikap rendah hati pertama-tama terwujud dalam rasa hormat.Manusia yang rendah hati adalah dia yang hormat pada Tuhan penciptanya. Manusia yang rendah hati adalah dia yang hormat pada manusia lain sebagai citra Allah.Dia yang hormat pada alam lain, yang terlahir dari kasih Tuhan sendiri.
Ketekunan merupakan Nilai yang di perjuangkan oleh pribadi manusia yang selalu memiliki optimism dan pengharapan.Ketekunan bukan terkait dengan kuantitas prestasi akademik, melainkan terkaiat dengan dengan kualitas pribadi manusia untuk memaknai tiap proses usaha dan kerja keras.Memang diperlukan waktu dan kesabaran. Keutamaanya, bahwa pikiran positifnya terus mencari cara untuk menyelesaikan segala hal yang dikerjakanya.
Lawan dari kata jujur pertama-tama bukanlah tidak jujur atau curang atau bohong, melainkan tidak percaya pada diri sendiri dan tidak percaya pada Tuhan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan martabat mulia dan dengan anugerah kebebasan. Jika ia menggunakan kebebasannya untuk berbuat yang jahat atau curang, sebenarnya sebenarnya ia tidak lagi bebas tetapi terikat. Manusia tidak lagi berkuasa atas dirinya untuk tetap menjadi ciptaan yang secitra dengan Allah.
- Keadilan
- Pengandaian dasar
- Iman Agama
- Tujuan keberadaan gereja
- Dimensi Sosial-Politik
- Nilai Iman (Spiritualitas) dalam Ekologi dan Ekonomi
- Ensiklik Laudato Si
Hukum utama keadilan sejati; “cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu; dan cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Keadilan lebih terkait dengan perbuatan atau Tindakan. Orang yang adil sadar diri akan martabatnya yang sama dengan sesamanya manusia. Kesadaran bahwa sesamanya itu memiliki perasaan seperti dirinya, sadar untuk memperlakukan sesamanya secara adil seperti dirinya juga ingin diperlakuan demikian.Tujuan hidup kita adalah hidup Bersama Tuhan selamaya. Tuhan memberi kita hidup karena Dia mencintai kita. Tanggapan cinta kita kepadaNya menjadikan energi Ilahi mengalir tanpa batas di dalam diri kita.
Berkali-kali dalam Alkitab Tuhan memperingatkan bahwa orang yang malas dan tidak mau bekerja akan mengalami kemiskinan (Ams 14:23; 6:6-11). Paulus bahkan memperingatkan jemaat di Tesalonika untuk menjauhi anggota jemaat yang tidak mau bekerja, bahkan menyatakan bahwa mereka yang tidak bekerja tidak boleh makan (2 Tes 3: 6,10).
Sebagai orang Kristen, pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan menjadi kesaksian yang memuliakan Tuhan. (Mat 5:16). Tuhan juga tidak ingin manusia bekerja sedemikian rupa sehingga lupa kepada Tuhan dan pekerjaan itulah yang dimuliakan. Bahkan pekerjaan menjadi “tuhan” mereka. Yesus memperingatkan kita akan hal ini ketika Ia mengajar tentang mengumpulkan harta (Mat 6:19-24) dan tentang kekuatiran (Mat 6:25-34). Bahkan Tuhan sendiripun memberikan teladan dengan “beristirahat” pada hari ketujuh (Sabat). Tentunya hal ini tidak berarti Tuhan kelelahan setelah bekerja dan membutuhkan istirahat. Tuhan ingin agar manusia tidak senantiasa terikat kepada pekerjaan tetapi juga harus beristirahat.
Gerakan Sosial, Ekonomi dan Ekologi Sebagai Gerakan Iman
Spiritualitas dalam pengertian pembicaraan kita kali ini diartikan sebagai hal yang paling mendasar atau mendalam yang mendorong, menggerakkan dan memotivasi, dan sekaligus memberi cakrawala, pada program dan kegiatan kita. Sebagai makhluk rohani hal itu tentu terkait dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai roh (tidak hanya tubuh dan jiwa). Kita adalah manusia beriman, sehingga hal-hal paling mendalam itu terkait dan didasari dengan iman kita.
Iman bukan sekedar percaya. Iman bukan sekedar tahu. Iman adalah relasi atau hubungan yang sangat pribadi dengan Tuhan yang kita sebut Bapa, dengan Yesus yang menjadi 'jalan, kebenaran, dan hidup' (cfr. Yoh. 14: 6). Iman pun harus dengan sangat tegas dibedakan dengan agama. Agama adalah lembaga yang mendukung perkembangan iman itu. Agama adalah dimensi sosial dari iman karena manusia tidak bisa hidup dan beriman sendirian.
Gereja adalah juga sebuah lembaga rohani, bukan pertama-tama sebuah organisasi sosial. Tujuan keberadaan Gereja adalah mendukung perkembangan iman dari umat beriman yang hidup di dalamnya, bukan untuk tujuan dirinya sendiri, bukan untuk kebesarannya, bukan untuk popularitasnya. Implikasinya juga sangat sederhana: semua kegiatan di dalamnya adalah kegiatan 'pastoral', yang berarti 'menggerakkan dan memberikan makanan' agar iman umat bertumbuh dan berbuah.
Gereja mempunyai dimensi sosial-politik di tengah masyarakat. Organisasi sosial, Gereja juga bisa ikut berperan serta dalam kiprah kehidupan masyarakat demi kebaikan bersama. Cakrawala rohani, yaitu pertumbuhan iman umat dan kesejahteraan bersama masyarakat, yang dalam bahasa kristiani berarti 'membangun Kerajaan Allah' atau 'membangun Kerajaan Cinta Kasih', bukan sekedar membangun Kerajaan Kristiani!
Implikasinya sederhana: ukuran keberhasilan suatu kegiatan bukan sekedar pada jumlah (kuantitas) peserta, bukan pula hanya ukuran-ukuran material/fisik, melainkan dalam kualitas iman yang nota-bene tidak mudah diukur. Orientasi pada proses lebih ditekankan daripada pada hasil. Semua kegiatan Gereja pada dasarnya bisa dikatakan sebagai 'gerakan iman,' yaitu upaya-upaya yang menggerakkan agar iman bertumbuh dan berbuah (mewujud) di tengah masyarakat. Kegiatan dalam Gereja tetap penting di'sinkron'kan dengan kebutuhan masyarakat, tetapi fokus utamanya tetap dalam konteks iman. Setiap kegiatan gerejawi tetap punya dua sisi yaitu (1) ke dalam (pembangunan kehidupan rohani) dan (2) ke luar (pembangunan kehidupan fisik dan sosial) dengan cakrawala iman yang tepat.
Kata 'ekologi' dan 'ekonomi' itu punya kaitan sangat erat. Secara etimologis, ekologi berasal dari kata Yunani oikos (rumah tangga) dan logos (pengetahuan atau pemahaman). Kata ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos (aturan). Dalam konteks luas, oikos yang dimaksud adalah kehidupan manusia ini, atau seluruh bumi sebagai 'rumah-tangga' manusia.
Ekologi bukan hanya berarti 'lingkungan hidup', tetapi kehidupan seluruh bumi ini. Ekonomi juga bukan sekedar upaya mencari untung. Ekonomi, yang sekarang lebih diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia seharusnya berpijak pada ekologi.
Paus Fransiskus dengan sangat jelas mau mengajak kita agar melihat seluruh kehidupan di atas bumi dengan kaca-mata iman. Paus Fransiskus mengajak kita untuk membuka mata hati kita akan kehadiran Allah dalam setiap ciptaan. Kaca-mata iman itu, kita akan melihat bahwa setiap ciptaan itu berharga dan saling tergantung untuk memberi kehidupan.Jika kita mampu membuka mata-hati kita untuk itu dan membiarkan Roh Kudus menggerakkan tangan-kaki kita seharusnya dunia ini menjadi lebih baik.
Sekarang ini bumi atau dunia kita 'tidak dalam keadaan baik' menjadi cermin pada iman kita yang tentunya juga 'tidak baik-baik saja' alias belum dipahami serta diwujudkan sepenuhnya. Kegiatan ekonomi sering ditunjuk sebagai biang keladi segala kerusakan di atas bumi, terutama ketika ekonomi hanya dipahami sebagai mencari keuntungan semata. Dalam pemahaman sempit ini, orang hanya memikirkan diri atau kelompoknya, hanya memikirkan keuntungan material, dan tidak berpikir panjang.
Hal ini tentu berseberangan dengan kacamata iman yang berpikir sebaliknya:
- Beriman itu mengasihi,
- Mengasihi itu memberi (bukan mendapatkan),
- Mengasihi itu menghargai yang dikasihi sesuai martabatnya, termasuk dimensi rohaninya, bukan sekedar dimensi fisik/materialnya,
- Beriman mempunyai cakrawala waktu yang panjang.
Pola berpikir ekonomistis
Cara berpikir ekonomistis yang merasuki seluruh bidang kehidupan, termasuk orang beriman dan bahkan juga Gereja.Sikap dan cara berpikir dengan pola ekonomi itulah yang tanpa disadari merasuk dalam diri sebagian besar orang sehingga menjadi tidak peduli.
Laudato si' lalu bisa dikatakan sebagai panggilan kembali untuk peduli, panggilan untuk membuka mata-hati serta tangan dan kaki. Pertobatan ekologi, yang berarti membuka mata-hati agar bisa melihat dan memahami seluruh isi bumi sebagai sebuah keutuhan yang juga menghadirkan wajah Tuhan, bukan sekedar alat atau sarana bagi kesejahteraan manusia.Jika dikembalikan pada kaitan etimologis ekologi dan ekonomi, Paus Fransiskus mengajak kita di satu sisi mewaspadai sikap ekonomistis itu, dan di lain pihak mengajak kita bijak dalam bertindak, khususnya dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Benar, ekonomi tidak akan berjalan jika tidak ada 'iming-iming' keuntungan material atau finansial. Kegiatan ekonomi tidak disertai dengan keserakahan atau ketamakan yang berarti hanya menimbun keutungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya, tidak menghargai pihak lain dengan semestinya. Pihak lain ini adalah sesama manusia, khususnya mereka yang lemah, generasi yang akan datang, serta lingkungan ekologis (biotik maupun abiotik).
Pendeknya: ekonomi dalam spiritualitas ekologis bukanlah ekonomi yang merusak, melainkan yang membangun, yaitu membangun kesejahteraan bersama. Kata 'bersama' perlu dibaca dengan keras karena spiritualitas ekologis pada dasarnya adalah spiritualitas kebersamaan, kekitaan, kesatuan, keutuhan! Kata 'bersama' juga menyiratkan makna bahwa Laudato si' bukan hanya cakrawala untuk pengembangan sosial, ekonomi dan ekologi. Ini cakrawala untuk seluruh 'proyek' pengembangan iman. Implikasinya sangat jelas yaitu bahwa seharusnya spirit Laudato si' menjadi cakrawala Gereja secara utuh.
Paus Fransiskus mengingatkan bahwa kita diundang untuk mengikuti teladan Santo Fransiskus dari Assisi yang melihat ‘alam sebagai buku yang luar biasa di mana Tuhan berbicara kepada kita dan memberi kita sekilas keindahan dan kebaikan-Nya yang tak terbatas’. Saat ini kita menghadapi banyak tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seluruh umat manusia dipanggil untuk bersatu bersama untuk melindungi dan merawat planet kita dengan lebih baik-bukan hanya untuk waktu kita sendiri tetapi untuk generasi mendatang.Oleh karena itu, Kita semua bertanggung jawab dan memiliki peran dalam bekerja menuju kebaikan sejati pribadi manusia.
Kerja atau bekerja adalah ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja hidup manusia memperoleh arti. Dengan bekerja, seseorang merasa dirinya berharga di tengah keluarga dan masyarakat. Demi hormat terhadap martabat manusia tidak seorang pun boleh dihalangi bekerja. Demi harga diri setiap orang harus bekerja menanggung hidupnya sendiri dengan nafkah yang ia peroleh dan mendukung hidup bersama.
Yesus memperingatkan kita akan hal ini ketika Ia mengajar tentang mengumpulkan harta (Mat 6:19-24) dan tentang kekuatiran (Mat 6:25-34). Bahkan Tuhan sendiripun memberikan teladan dengan "beristirahat" pada hari ketujuh (Sabat). Tentunya hal ini tidak berarti Tuhan kelelahan setelah bekerja dan membutuhkan istirahat. Tuhan ingin agar manusia tidak senantiasa terikat kepada pekerjaan tetapi juga harus beristirahat. Beristirahat berarti kita masuk dalam perhentian dan mengalami persekutuan dengan Tuhan. Amin.
Adrianus Alkadri – NAC PUSKOPCUINA
Perangkat GM PUSKOPCUINA yang membidangi NAC